PEMBAHASAN
1.
Rambu-rambu Kehidupan Bermasyarakat
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari shahabat Nu’man bin Basyir
radhiallahu anhuma, Rasulullah saw bersabda
,
مَثَلُ
الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا
عَلَى سَفِينَةٍ ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ،
فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى
مَنْ فَوْقَهُمْ ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا
وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا ، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا
جَمِيعًا ، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang teguh menjalankan ajaran Allah dan tidak
melanggar ajaran-ajaran-Nya dengan orang yang terjerumus dalam perbuatan
melanggar ajaran Allah, adalah bagaikan satu kaum yang melakukan undian dalam
kapal laut. Sebagian mendapat jatah di atas dan sebagian lagi mendapat jatah di
bawah. Penumpang yang berada di bawah, jika mereka hendak mengambil air, mereka
harus melewati penumpang yang berada di atas. Lalu mereka berkata, “Seandainya
kita lobangi saja kapal ini, maka kita dapat mengambil air tanpa mengganggu
penumpang di atas. Jika perbuatan mereka itu mereka biarkan, maka semuanya akan
binasa. Namun jika mereka mencegahnya, maka semuanya akan selamat.” (Shahih
Bukhari, no. 2493)
Sebagai
makhluk sosial, hidup bermasyarakat adalah perkara yang tidak dapat kita
hindari dalam kehidupan ini. Tentu dengan segala konsekwensi yang terdapat di
dalamnya. Adanya berbagai problem dalam kehidupan bermaysrakat bukan merupakan
alasan bagi seseorang untuk menghindar, lalu menarik diri untuk bergaul di
tengah masyrakatnya. Selain hal tersebut dapat dikatagorikan sebagai tindakan
yang mengabaikan kebutuhan fitrah manusia, sifat tersebut juga boleh dikatakan
sebagai bentuk lari dari tanggung jawab.
Islam
mengajarkan umatnya untuk hidup membaur di tengah msyarakatnya dan sabar
menghadapi berbagai konseksenwensi yang harus ditanggungnya.
Rasulullalh saw bersabda:
الْمُؤْمِنُ
الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ ، وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ ، أَفْضَلُ مِنَ
الْمُؤْمِنِ الَّذِي لا يُخَالِطُ النَّاسَ ، وَلا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mu’min yang bergaul di tengah masyarakatnya dan
sabar terhadap gangguan mereka, lebih baik dari mu’min yang tidak berbaur
dengan masyarakat dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Ahmad dan Bihaqi. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany
dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 939)
Karenanya
ajaran Islam telah banyak membekali kita dengan seperangkat ajaran tentang
bagaimana kita menempatkan diri dengan tepat di tengah masyarakt.
Salah satu hadits yang
memberikan pelajaran penting tentang hal tersebut adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari di atas. Baik tersurat maupun tersirat, hadits di
atas memberikan pelajaran yang sangat berarti kepada kita sebagai bekal untuk
memahami posisi dan apa yang seharusnya kita sikapi terhadap persoalan
kemasyarakatan. Di antaranya:
A. Hidup ini bagaikan mengarungi samudera bersama-sama dalam
perahu besar.
Setiap
kita memiliki andil dalam menjaga keselamatan bersama. Kebebasan individu
hendaknya terbingkai dengan kemaslahatan umum. Karena itu, dalam Islam,
kualitas pribadi seseorang sering dikaitkan dengan kualitas sosialnya. Misalnya
dalam sebuah hadits yang cukup terkenal Rasulullah saw mengaitkan kualitas
keimanan seseorang kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan ucapannya, serta
kebaikan terhadap tamu dan tetangganya (Muttafaf alaih). Hal ini pada
gilirannya menuntut kita untuk selalu berupaya menjadi unsur positif dalam
kehidupan masayarakat setelah kebaikan indvidu. Istilahnya adalah kesalehan
pribadi dan kesalehan sosial.
B. Kebaikan dan Keburukan
selalu ada di tengah masyarakat
Selama
masyarakat itu terdiri dari manusia, maka kedua hal tersebut merupakan
sunnatullah dalam kehiduan ini, kapan saja dan dimana saja. Bahkan pada masa
generasi terbaik sekalipun. Khusus mengenai keburukan, saking kuatnya Allah
hendak menegaskan perkara ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa jika di suatu
kaum tidak ada yang berbuat dosa, Allah akan mengganti mereka dengan kaum lain
yang berbuat dosa. Agar tampak salah satu keagungan Allah Ta’ala sebagai Maha
Pengampun.
وَالَّذِى
نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ
بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
“Demi yang jikwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian
tidak ada yang berdosa, Allah akan gantikan kalian dengan kaum yang berdosa,
lalu mereka bersitghar kepada Allah kemudian Allah mengampuni mereka.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, no. 7141)
Namun
tentu saja penyikapannya harus berbeda. Kebaikan selain merupakan sunnatullah,
dia pun merupakan sesuatu yang di sukai-Nya. Berbeda dengan keburukan, meskipun
dia merupakan sunnatullah, namun dia tidak disukai-Nya. Karena itu kita harus
selalu berusaha berada di pihak kebaikan dan menjadikannya sebagai perkara yang
dominan di tengah msyarakat.
Sedangkan
keburukan, jika hal tersebut ada pada orang lain, dia adalah kesempatan bagi
kita untuk berbuat baik dengan mengajaknya pada jalan kebaikan. Adapun jika dia
ada pada diri kita, itu adalah kesempatan bagi kita untuk bertaubat dan mohon
ampunan kepada Allah. Betapa Allah Ta’ala sangat senang dengan hamba-Nya yang
suka mengajak kebaikan dan bertaubat kepada-Nya. Adanya keburukan di tengah
masyarakat, sebesar apapun pengaruh-nya, jangan dijadikan sebagai justifikasi
(pembenaran) atas keburukan tersebut.
C. Pentingnya membangun
komunikasi yang sehat.
Para
penumpang yang berada di geladak kapal tentu tidak hrus mengambil keputusan seperti
itu, kalau mereka mampu mengkomunikasi-kannya dengan penumpang yang berada di
atas. Begitu pula halnya jika penumpang yang di atas tanggap dan komunikiatif
dengan kebutuhan dan keinginan penumpang yang di bawah.
Banyak
sekali permasalahan yang muncul akibat tersumbatnya komunikasi. Mulai dari
kesalahpahaman hingga pertikaian. Permasalah ini berlaku baik dalam ruang
lingkup kecil seperti keluarga maupun ruang lingkup yang lebih besar seperti
bermasyarakat dan bernegara. Komunikasi lebih dibutuhkan dalam hubungan lintas
lapisan, tua-muda, atasan–bawahan, pejabat-rakyat, kaya-miskin, antara suku,
antara pemeluk agama, dll. Karena kalau dalam satu lapisan saja komunikasi yang
tersumbat dapat mengakibatkan problem, apalagi jika berbeda lapisan.
Sebagai
seorang muslim kita diajarkan untuk banyak berkomunikasi. Justeru inilah yang
menjadi salah satu hikmah mengapa kita diciptakan berbeda-beda suku bangsa
(Al-Hujurat: 13). Dari sini pula kita dapat memahani betapa Islam sangat
menganjurkan kita untuk mengucapkan salam, bersiltarrahim bahkan berdialog
kepada orang kafir. Sebaliknya, Islam mengecam tindakan memutus silturrahim
sebagai wujud dari meniadakan komunikasi.
Maka,
hendaknya kita suka mengkomunikasikan apa yang menjadi keinginan, perasaan,
keyakinan dan sikap-sikap kita. Sebaliknya kita juga harus dapat menyerap
keinginan, perasaan, keyakinan dan sikap-sikap pihak lain. Dari sana kita
harapkan ada kesepahaman dan langkah bersama dalam menyikapi beberapa persoalan
di tengah masyarakat.
Dalam
Al-Quran dan sirah Rasululah saw, kita banyak mendapatkan bagaimana komunikasi
tersebut dibangun sehingga lahir kesepahaman. Kita dapat membaca bagaimana
komunikasi antara para nabi dengan umatnya ketika mereka mendakwahkan ajaran
Allah Ta’ala. Bahkan di sana ada dialog antara Nabi Sulaiman dengan burung
Hud-hud, Nabi Ibrahim dengan puteranya Ismail, juga antara Rasulullah dengan
para shahabatnya, bahkan juga terhadap orang kafir yang memusuhinya.
D. Pelanggaran kecil dapat
memicu bencana besar. Bencana besar selalu diawali dengan pelanggaran kecil.
Segala
sesuatu biasanya bermula dari perkara kecil atau yang kita anggap kecil.
Termasuk dalam masalah pelanggaran. Pelanggaran kecil jika kita biarkan terus
menerus akan membesar. Hal ini Rasulullah saw tamsilkan dalam hadits riwayat
Imam Ahmad, bagaikan orang yang mengumpulkan sebatang demi sebatang kayu bakar
yang lama kelamaan dapat menjadi tungku api.
Karena itu beliau berpesan:
إِيَّاكُمْ
وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ
“Hendaknya kalian menghindari dosa-dosa sepele.” (HR. Ahmad.
Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no.
3102)
Ibnu
Qoyim memberikan kita resep untuk menghindar dari pelanggaran sejak kesempatan
pertama benih pelanggran itu muncul, yaitu ketika masih berupa lintasan
pikiran. Beliau berkata dalam kitabnya, Al-Fawaid, hal. 31.
دَافِعْ
الْخَطْرَةَ ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ صَارَتْ فِكْرَةً ، فَدَافِعْ الْفِكْرَةَ ،
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ صَارَتْ شَهْوَةً ، فَحَارِبْهَا، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
صَارَتْ عَزِيْمَةً وَهِمَّةً ، فَإِنْ لَمْ تُدَافِعْهَا صَارَتْ فِعْلاً ،
فَإِنْ لَمْ تَتَدَارَكْهُ بِضِدِّهِ صَارَ عَادَةً فَيَصْعُبُ عَلَيْكَ
الاِنْتِقَالُ عَنْهَا
“Usirlah lintasan pikiran (buruk), sebab jika tidak engkau
cegah, dia berubah menjadi pemikiran. Cegahlah pemikiran (buruk), jika tidak
engkau halau, dia akan berubah menjadi syahwat. Perangilah (syahwat buruk),
sebab jika hal itu tidak engkau lakukan, dia akan berubah menjadi tekad kuat
(azimah) dan keinginan besar (himmah). Jika tidak juga engkau cegah, maka dia
akan berubah menjadi sebuah perbuatan. Lalu jika engkau tidak lakukan langkah
penangkalnya, dia akan menjadi kebiasaan. Dan ketika itu, sulit bagimu
meninggalkannya.”
E. Solusi instan tidak akan
menyelesaikan masalah.
Para
penumpang kapal yang di bawah berpikir sederhana, jika mereka lobangi kapal,
maka problem kekurangan air akan segera teratasi. Di sini sangat tampak betapa
mencari silusi instan bagi sebuah problem tidak akan menyelesaikan masalah. Sunnatullah
dalam kehidupan manusia bahwa untuk meraih sesuatu harus melalui
tahapan-tahapan dalam sebuah proses. Karena itu, dalam hal apa saja, apakah
urusan dunia ataupun urusan agama, mengabaikan tahapan-tahapan yang seharusnya
dilewati, secara umum akan mengakibatkan hilangnya keseimbangan terhadap
ciptaan Allah.
Perhatikanlah
dampak buruk dari prilaku orang yang ingin sehat, pintar, kaya, populer, meraih
jabatan, namun ditempuh dengan cara instan. Kalau dampaknya sebatas individu
mungkin masih ringan, tapi jika dampaknya berpengaruh pada kehidupan
bermasyarakat, maka problem-nya kian terasa berat.
Islam
telah mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam solusi instan dengan
memerintahkan bersabar, mengikuti tahapan-tahapannya, mencari sebab akibat yang
dapat dipercaya, mecari solusi yang integral dalam sebuah sistem, serta meyakini
bahwa akhir lebih baik dari permulaan. Penderitaan di awal namun di akhiri
dengan kebahagiaan jelas lebih baik dari kesenangan di awal namun akhirnya
menderita.
F. Pentingnya menjadi unsur
perbaikan di tengah masyarakat
Rasulullah
saw mengisyaratkan dalam hadits di atas, apabila tindakan penumpang di bawah
yang ingin melobangi kapal tidak dicegah, maka bencana akan menimpa semua
penumpang, sedangkan jika dicegah, maka semuanya akan selamat.
Siapapun
kita, semuanya dituntut untuk memiliki andil dalam menjaga kehidupan
bermasyarakat yang kondusif bagi nilai-nilai kebaikan. Salah satunya adalah
dengan berperan menebar kebaikan dan pencegah kemunkaran.
Jadilah kita seperti orang
disinyalir Rasulullah saw:
إِنَّ
مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ ، وَإِنَّ مِنْ
النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ
اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ
مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ
“Sesungguhnya ada orang yang menjadi kunci pembuka bagi
kebaikan dan kunci penutup bagi keburukan. Namun ada juga yang menjuadi kunci
pembuka bagi keburukan dan kunci penutup bagi kebaikan. Beruntunglah orang yang
Allah jadikan kunci kebaikan ada di tangannya, dan celakalah orang yang Allah
jadikan kunci keburukan ada di tangannya.”
(HR. Ibnu Majah. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami, no.
3986)
Jika kita
belum merasa mampu untuk mencegah kemungkaran dalam ruang lingkup yang lebih
besar, cegahlah dalam ruang lingkup yang kita mampu. Di keluarga misalnya,
tentu dengan adab-adab yang berlaku. Atau paling tidak, kita harus mempertegas
sikap bahwa kita berada di pihak kebenaran. Sebab, hal itu besar peranannya
dalam menambah bobot kebenaran untuk menghadapi kebatilan.
Fenomena ironis yang kerap
terjadi di tengah masyarakat; Pelaku kebatilan dengan bangganya dan percaya
diri mempertontonkan kebatilannyau. Bahkan jika ada yang menghujat, mereka siap
dengan bantahan-bantahannya walau sekenanya, padahal jumlah merek sedikit.
Sementara para pengusung kebaikan, sering malu-mal. Tidak tegas menyatakan
sikapnya. Jangan menjadi silent majority (mayoritas diam) terhadap kebenaran.
Sebenarnya jumlahnya banyak, namun tidak menyatakan sikapnya. Atau –meminjam
istilah politik- menjadi floating mass (massa mengambang)
Al-Quran menyebutkan dengan istilah muzabzabin:
مُّذَبْذَبِينَ
بَيْنَ ذَلِكَ لاَ إِلَى هَؤُلاء وَلاَ إِلَى هَؤُلاء وَمَن يُضْلِلِ اللّهُ فَلَن
تَجِدَ لَهُ سَبِيلاً (سورة النساء: 143)
“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antra yang demikian (iman
dan kafir); Tidak masuk pada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak
(pula) kepada golongan itu (orang kafir).”
(QS. An-Nisa: 143)
Seharusnya
kita meningkatkan kadar kebaikan kita dari sekedar saleh (orang baik) menjadi
muslih (orang yang memperbaiki). Dari sekedar qaabilun lil islah (menerima
perbaikan) menjadi anashir ishlah (unsure perbaikan) dari sekedar syakhsyiah
Islamiyah (pribadi muslim) menjadi syakhsiah da’iyah (pribadi da’i).
2.
Hukum Rokok dalam Islam dan Kehidupan Bermasyarakat
A. Hukum dan Status Rokok Dalam Pandangan
Ulama
1). Menurut Imam Ibnu ’Abidin rahimahullah
Di dalam Kitab Radd
al-Muhtaar, Imam Ibnu ’Abidin rahimahullah menyatakan, ”Pendapat para ulama
mengenai masalah ini (rokok) tidaklah seragam. Sebagian ulama berpendapat bahwa
rokok hukumnya makruh; sebagian yang lain mengharamkannya, dan sebagian yang
lain memubahkannya. Masing-masing menyatakan pendiriannya dalam karya-karya
mereka.”
Masih menurut beliau,
”Di dalam Kitab Syarah al-Wahbaaniyyah karya Imam al-Surunbulaliy , beliau
menyatakan, ”Dilarang jual beli rokok dan meminumnya (menghisapnya). Orang yang
menghisap rokok di saat puasa tidak diragukan lagi ia telah berbuka. Di dalam
Syarah al-Allamah Syaikh Isma’il al-Nablusiy, orang tua dari guru kami, ’Abd
al-Ghaniy, terhadap kitab Syarah al-Durari, disebutkan bahwa seorang suami
punya hak melarang isterinya memakan bawang putih, bawang merah, dan semua
makanan yang menyebabkan mulut berbau…Gurunya guru kami, al-Musayyaraiy dan
yang lainnya, memberikan fatwa larangan menghisap tembakau.” [Ibnu ’Abidin,
Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]
’Allamah Syaikh ’Ali
al-Ajhuriy memiliki sebuah risalah (tulisan) yang membolehkan menghisap
tembakau. Di dalam tulisan itu disebutkan bahwasanya orang yang memberi fatwa bolehnya
menghisap tembakau bersandar kepada Imam empat madzhab.
Ibnu ’Abidin menyatakan,
”Saya katakan, ”Ulama yang juga mengarang tulisan yang membolehkan menghisap
tembakau adalah guru kami yang arif, ’Abdul Ghaniy al-Nablusiy. Tulisan itu
berjudul al-Shulhu bain al-Ikhwaan fi Ibaahat Syurb al-Dukhaan. Beliau telah
menjelaskan dengan sangat baik masalah ini dalam karya-karyanya. Beliau
mengkritik dengan sangat keras orang-orang yang mengharamkan atau memakruhkan
tembakau. Sebab, keduanya (haram dan makruh) adalah hukum syariat yang harus
disandarkan pada dalil. Padahal tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hukum
itu. Pasalnya, tidak terbukti bahwa tembakau itu memabukkan, melemahkan, atau
membahayakan (dlarar). Tetapi justru terbukti bahwa ia memiliki beberapa
manfaat. Hukum tembakau (rokok) masuk dalam kaedah ”al-ashl fi al-asyyaa’
ibaahah” (hukum asal dari benda adalah mubah). Sesungguhnya beberapa dlarar
yang terkandung di dalamnya tidak menjadikan keseluruhannya haram. Madu bisa
membahayakan orang yang terkena penyakit kuning akut. Seandainya Allah swt
menetapkan keharaman atau kemakruhan tembakau, maka pastilah ada dalil yang
menunjukkannya. Akan tetapi, jika tidak ada, maka harus dinyatakan bahwa mubah
adalah hukum asalnya. Nabi Saw tawaqquf (menahan diri) dalam masalah
pengharaman khamer sebagai umm al-khabaaits (induk segala barang yang
menjijikkan); padahal beliau adalah musyarri’, hingga turun nash qath’iy pada
dirinya….”.[3]
2). Dalam Haasyiyyah al-Bajiiramiy
Di dalam Haasyiyyah
al-Bajiiramiy disebutkan, ”Jika penguasa memerintahkan perkara-perkara mubah
yang di dalamnya terdapat kemashlahatan bagi orang banyak, semacam menghisap
rokok, maka, rakyat wajib mentaatinya.”
Di dalam Fatawa
al-Azhar, ’Abdurrahman Qaraa’ah menyatakan, ”Menghisap rokok tidak pernah
terjadi di masa Nabi saw, Khulafaaur Rasyidin, shahabat, maupun tabi’in.
Menghisap rokok terjadi pada masa-masa belakangan. Para ulama berpendapaty
pendapat dalam masalah ini. Sebagian mereka mengharamkannya, dan sebagian lagi
memakruhkan. Sebagian lagi memubahkannya. Saya (’Abdurrahman Qara’ah)
menguatkan pendapat yang memakruhkannya…”
Adapun Hasanain Mohammad
Makhluf menguatkan pendapat yang memubahkannya. Di dalam Fatawa al-Azhar,
beliau menyatakan, ”Kami menyatakan; ketahuilah, sesungguhnya hukum menghisap
rokok adalah hukum ijtihaadiy. Pendapat para fukaha dalam masalah ini tidaklah
seragam. Yang benar menurut kami adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam
Kitab Radd al-Muhtaar; bahwa hukum menghisap rokok adalah mubah. Orang-orang yang
bersandar kepada imam empat madzhab telah memfatwakan kebolehannya; seperti
penuturan dari al-’Allamah al-Ajhuuriy al-Maalikiy di dalam tulisannya.”
3). Menurut Lajnah al-Daaimah li
al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’
Menurut Lajnah
al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’, menghisap rokok hukumnya
adalah haram. Di dalam Kitab Fatawa Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa
al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’ disebutkan, ”Menghisab rokok hukumnya haram. Orang
yang terlanjur menghisap rokok, ketika hendak masuk ke dalam masjid wajib
membersihkan mulutnya untuk menghilangkan bau busuk mulutnya, dan untuk
mencegah dlarar dan gangguan bau rokok bagi orang-orang yang sholat. Akan
tetapi, menghisap rokok tidaklah membatalkan wudhu.”
Demikianlah, para fukaha
kontemporer berselisih pendapat mengenai status hukum rokok. Ada tiga pendapat
masyhur dalam masalah ini; haram, makruh, dan mubah. Lantas, mana pendapat
rajih yang wajib kita ikuti? Untuk menjawab pertanyaan ini harus diketahui
terlebih dahulu pandangan syariat Islam terhadap hukum asal benda, baru setelah
itu hukum-hukum derivatifnya.
B. Hukum Asal Benda
Pada dasarnya, para
ulama sepakat bahwa benda hanya memiliki dua status hukum saja, yakni yakni
halal dan haram. Sedangkan hukum atas perbuatan manusia ada lima, yakni wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram. Para ulama juga sepakat bahwa hukum asal
benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Ketentuan ini
didasarkan pada firman Allah SWT:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
”Katakanlah: “Tiadalah aku
peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi –karena sesungguhnya semua itu kotor– atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-An’aam (6):
145)
Ayat ini dengan sharih
menyatakan bahwa tidak ada benda yang diharamkan oleh Allah swt, kecuali
benda-benda yang disebut di dalam ayat ini. Hanya saja, karena ayat ini
Makiyyah, maka benda-benda yang diharamkan hanya sebatas pada bangkai, darah
yang mengalir, babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Setelah itu, Syaari’ menambah jenis-jenis benda yang diharamkan, baik yang
disebutkan di dalam al-Quran maupun hadits-hadits shahih; semacam binatang
bertaring dan berkuku tajam, binatang jalalah, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, ayat
ini dengan sharih menyatakan bahwa hukum asal dari benda adalah mubah, selama
tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Di ayat lain, Allah SWT
berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
”Dialah Allah yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu…” (Qs. al-Baqarah (2): 29 )
Imam Syaukaniy di dalam
Kitab Fath al-Qadiir menyatakan, ”Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan
bahwa hukum asal dari benda yang diciptakan adalah mubah, hingga ada dalil yang
memalingkan hukum asalnya (mubah)…” [Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 1,
hal. 64]
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
”Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan
(siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” (Qs. al-A’raaf (7):
32);
dan masih banyak ayat lain yang memiliki
pengertian senada. Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat dipahami dua hal
penting.
الأ صل فى الأشياء اباحة ما لم يرد دليل التحريم
“Hukum asal dari benda adalah mubah selama
tidak dalil yang mengharamkan”
Walhasil, semua benda
yang ada di alam ini telah ditetapkan kemubahannya oleh Allah SWT, kecuali
benda-benda tertentu yang diharamkanNya.
C. Status Hukum Rokok
1). Hukum Asal Rokok
Tembakau dan cengkeh
yang menjadi bahan utama pembuatan rokok adalah benda-benda yang berhukum
mubah. Sebab, tidak ada satupun nash sharih yang mengharamkan keduanya, baik
dalam al-Quran maupun sunnah. Dalam keadaan seperti ini; status hukum tembakau
dan cengkeh harus dikembalikan kepada konteks hukum asalnya, yakni mubah.
Jika benda-benda
tersebut (tembakau dan cengkeh) digunakan secara bersama-sama atau terpisah,
maka penggunaannya diperbolehkan. Dengan demikian, produk yang menggunakan
bahan baku tembakau, cengkeh, atau benda-benda mubah lainnya, mengikuti hukum
bahan bakunya. Jika bahan bakunya berhukum mubah, maka produk olahannya juga
berhukum mubah. Oleh karena itu, selama rokok dibuat dari bahan-bahan mubah,
maka status hukum rokok juga mubah, bukan haram atau makruh.
‘Allamah ’Abd al-Ghaniy
An Nablusiy, di dalam tulisannya menyatakan bahwa tidak ada satu pun dalil
syariat yang mengharamkan ataupun memakruhkan rokok; juga tidak terbukti bahwa
rokok itu memabukkan, melemahkan, atau menimbulkan bahaya secara umum pada
orang yang menghisapnya, hingga ia menjadi haram atau makruh. Oleh karena itu,
rokok termasuk dalam kaedah ”al-Ashl fi al-Asyyaa’ Ibaahah”.
Di dalam Kitab Fatawa
al-Azhar, ”…Pendapat yang terpilih adalah yang pertama (hukum asal dari sesuatu
adalah mubah). Pasalnya, seperti yang dituturkan dalam Kitab al-Tahrir, menurut
jumhur Hanafiyyah dan Syafiyyah, pendapat yang kuat adalah hukum asal dari
benda adalah mubah…”
Ini dari sisi status
hukum bendanya. Adapun dari sisi hukum perbuatannya, yakni merokok; harus ada
perincian lebih mendalam.
Pertama , jika seseorang
merokok, dan menyebabkan bahaya secara pasti pada dirinya (muhaqqah), maka
orang tersebut dilarang merokok, dikarenakan telah tampak bahaya yang nyata
bagi dirinya. Sebab, jika benda mubah mengandung atau menimbulkan dlarar
(bahaya) bagi individu tertentu; dan dlararnya bersifat muhaqqah (terbukti)
bagi individu tersebut, maka benda itu haram dikonsumsi oleh individu itu;
sedangkan hukum asal benda tersebut tetaplah mubah, bukan haram. Udang
misalnya, hukum asalnya adalah mubah. Akan tetapi, bagi orang-orang tertentu,
udang bisa mendatangkan bahaya (dlarar) yang bersifat muhaqqah. Dalam kondisi
semacam ini; orang tersebut dilarang (haram) mengkonsumsi udang, dikarenakan
telah terbukti bahaya udang bagi dirinya. Hanya saja, hukum asal udang tetaplah
mubah, bukan haram. Sebab, adanya dlarar (bahaya) pada benda-benda mubah,
tidaklah mengubah status kemubahan dari benda tersebut.
Oleh karena itu,
individu-individu lain tetap diperbolehkan mengkonsumsi udang semampang tidak
menyebabkan dlarar yang bersifat muhaqqah bagi dirinya.
Ketentuan di atas
didasarkan pada riwayat yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam di dalam Kitab
Siirahnya, ”Ketika Rasulullah saw melintas di Hijr, beliau berhenti di sana.
Pada saat itu, orang-orang meminum air dari sumur Hijr. Ketika, para shahabat
sedang istirahat, beliau saw bersabda, ”Janganlah kalian minum dari air sumur
Hijr, janganlah kalian berwudluk dengan airnya untuk sholat. Adonan roti apapun
yang kalian buat dengan menggunakan airnya, berikanlah kepada onta, dan
janganlah kalian memakannya sedikitpun. Dan janganlah seorang diantara kalian
keluar malam sendirian, kecuali ditemani oleh temannya.
Para shahabat
melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Nabi Saw, kecuali dua orang laki-laki
dari Bani Sa’idah. Salah satu dari orang itu keluar untuk memenuhi urusannya,
sedangkan yang lain keluar untuk mencari onta miliknya. Adapun orang yang pergi
untuk memenuhi urusannya, ia jatuh sakit. Sedangkan orang yang pergi untuk
mencari ontanya, ia diterbangkan angin hingga terlembar di Jabalaiy Thaiyyi’.
Kejadian ini disampaikan
kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda, ”Bukankah aku telah melarang kalian
agar tak seorangpun diantara kalian pergi sendirian, kecuali disertai teman?
Lalu, beliau Saw mendoakan orang yang jatuh sakit ketika hendak bepergian, dan
sembuhlah ia dari sakitnya. Sedangkan laki-laki lain yang jatuh di Jabalaiy
Thaiyyi`, sesungguhnya kabilah Thai` menunjukkan kepada Rasulullah Saw ketika beliau
Saw tiba di Madinah”.[HR. Ibnu Hisyam dan Sirah Ibnu Hisyam].
Berdasarkan riwayat ini
dapat disimpulkan; perkara-perkara yang hukum asalnya mubah, jika di dalamnya
mengandung bahaya yang pasti (muhaqqah), maka perkara itu berhukum haram,
sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah. Sebab, minum air dari sumur manapun,
hukum asalnya adalah mubah, termasuk air sumur Hijr. Larangan nabi saw agar
para shahabat tidak meminum airnya, tidak menggunakannya untuk berwudluk, dan
untuk membuat adonan roti, dikarenakan air tersebut mengandung bahaya.
Keluarnya seorang laki-laki di waktu malam sendirian, juga termasuk perkara
mubah. Adanya larangan dari Nabi saw agar para shahabat tidak keluar pada waktu
malam di tempat itu seorang diri disebabkan karena bahaya (dlarar). Dengan
demikian, perkara mubah (baik benda maupun perbuatan), jika perkara tersebut
mengandung bahaya, maka hukumnya menjadi haram (karena bahaya yang
dikandungnya), sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah.
Kedua , Bila dilakukan
di dalam masjid, hukumnya adalah makruh. Pasalnya ada larangan dari Nabi
Mohammad saw bagi orang yang memakan bawang putih atau bawang merah masuk ke
dalam masjid, dikarenakan bau menyengat yang dihasilkan dari keduanya. Imam
Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra bahwasanya
Rasulullah saw bersabda;
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ
مَسْجِدَنَا
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang
merah, hendaknya ia memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid
kami.” [HR. Imam Bukhari]
Imam Bukhari juga mengetengahkan sebuah
hadits bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ
ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ
فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ
أَصْحَابِهِ كَانَ مَعَهُ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي
أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaklah ia
memisahkan diri dari kami, atau beliau bersabda, ”Hendaknya ia memisahkan diri
dari masjid kami dan hendaknya ia duduk di rumahnya”. Sesungguhnya, Nabi saw
diberi sebuah periuk yang di dalamnya terdapat sayur-sayuran. Beliau mendapati
bau dari sayuran itu. Lalu, beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada
di sayuran itu. Lalu ia (perawiy) berkata, “Para shahabat mendekatkan periuk
itu ke beberapa shahabat yang bersama Nabi. Ketika beliau melihatnya, maka
beliau tidak suka memakannya. Beliau saw bersabda, “Makanlah. Sesungguhnya aku
berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Bukhari]
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Jabir
bin ’Abdullah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ
مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَإِنَّهُ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ
مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ
الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ
أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang
merah, hendaknya ia memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid
kami, dan hendaknya ia duduk di rumahnya. Nabi Saw diberi sebuah periuk yang di
dalamnya ada sayuran-sayuran, kemudian beliau saw mendapati bau. Lantas, beliau
bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di dalam sayuran itu. Kemudian
perawi berkata, ”Para mendekatkannya kepada sebagian shahabatnya. Tatkala
beliau mengetahuinya, beliau tidak suka memakannya, seraya berkata, ”Makanlah.
Sesungguhnya aku berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Muslim]
Hadits-hadits ini
menunjukkan bahwa Nabi saw melarang orang yang memakan bawang putih atau bawang
merah mendekati masjid disebabkan karena baunya yang mengganggu orang lain.
Dengan demikian, larangan Nabi saw disebabkan karena aroma atau bau
menyengatnya; yang ini hal ini tentunya menganggu orang lain yang hendak
beribadah kepada Allah SWT. Alasan ini diperkuat oleh hadits-hadits berikut
ini. Dalam hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim dari Jabir ra , bahwasanya
ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ
الْبَصَلِ وَالْكُرَّاثِ فَغَلَبَتْنَا الْحَاجَةُ فَأَكَلْنَا مِنْهَا فَقَالَ
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا
فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ
”Rasulullah saw melarang makan bawang mereka
dan bawang bakung. Lalu, kebutuhan begitu mendesak kami, hingga akhirnya kami
memakannya. Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa memakan tumbuhan ini, janganlah
mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu karenanya, begitu pula
manusia.” [HR. Imam Muslim]
Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah
hadits dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ
مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو
آدَمَ
”Barangsiapa memakan bawang merah, bawang
putih, dan bawang bakung, janganlah mendekati masjid kami. Sesungguhnya
malaikat merasa terganggu, sebagaimana anak Adam merasa terganggu darinya.”
[HR. Imam Muslim]
Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits
dari Umar ra bahwasanya ia sedang berkhuthbah;
إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا إِلَّا
خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنْ الرَّجُلِ فِي
الْمَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ أَكَلَهُمَا
فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ قَالَ ح و
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ
شَبَابَةَ بْنِ سَوَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ جَمِيعًا عَنْ قَتَادَةَ فِي
هَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
”Wahai manusia, sesungguhnya
kalian memakan dua tanaman yang menurutku tidak baik, yakni bawang merah dan
bawang puti. Sungguh, dahulu aku melihat Rasulullah saw jika mendapati bau
keduanya dari seseorang, beliau menyuruh orang itu keluar dari masjid.
Karenanya, jika kalian ingin memakannya, hendaklah kalian memasaknya terlebih
dahulu.” [HR. Imam Muslim]
Berdasarkan
hadits-hadits ini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa orang yang mengkonsumsi
sesuatu yang menimbulkan bau tidak sedap, dan berpotensi menganggu orang lain,
semacam rokok dimakruhkan masuk ke dalam masjid. Pasalnya, asap rokok
jelas-jelas menyebarkan aroma atau bau menyengat yang sangat mengganggu orang
lain. Atas dasar itu, seseorang makruh merokok di dalam masjid dikarenakan bisa
mengganggu orang lain.Begitu pula jika seseorang merokok di tempat umum yang
berpotensi mengganggu orang lain, maka hukumnya makruh, berdasarkan
riwayat-riwayat di atas.
Ketiga, jika seseorang
merokok, dan tidak menimbulkan dlarar yang bersifat muhaqqah pada dirinya,
serta dilakukan di tempat atau komunitas yang tidak menganggu orang lain, maka
status hukumnya adalah boleh. Dalilnya adalah kebolehan memanfaatkan
benda-benda mubah. Selain itu, ’illat yang menyebabkan pengharaman rokok, yakni
bahaya yang bersifat muhaqqah tidak terwujud pada orang tersebut; dan ia
melakukan aktivitas di suatu tempat dan komunitas yang tidak terganggu oleh
asap rokok.
LAMPIRAN
1. Gambar Zat yang Terkandung dalam rokok
2.
Akibat
Merokok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar